Kamis, 16 Mei 2013

KENAPA ANAKKU NAKAL YA?


Nakal adalah satu kata yang sering terlontar dari mulut seseorang kepada anak-anak yang sering melanggar aturan, tidak mau mendengar perintah atau melaksanakannya, anak-anak yang sering tawuran, anak-anak yang sering minum-minuman keras, anak-anak yang sering bolos, anak-anak yang terlibat geng-geng, anak-anak yang merokok, dan anak-anak lainnya yang sering mendapatkan cap "sampah masyarakat". Lalu siapakah yang patut kita salahkan ketika anak-anak nakal ini semakin banyak bermunculan? Pada dasarnya setiap individu lahir dengan suci artinya tidak anak yang terlahir nakal. Dalam bukunya Nanny 911 Nanny Deb dan Stella mengungkapkan pola terbentuknya anak nakal dalam filosofi Nanny 911:



“Anak nakal tidak dilahirkan; mereka dibentuk, dibentuk oleh orangtua yang tidak mampu berkata tidak, dibentuk oleh orangtua yang tidak pernah menindaklanjuti tingkah laku yang buruk dengan konsekuensi yang tegas, dan dipertegas oleh ketidakmampuan orangtua untuk berkomunikasi.”

Namun tidak semua kesalahan ada pada orangtua, beberapa pihak terlibat dalam pembentukan tingkah laku anak menjadi nakal seperti keluarga, sekolah, teman sebaya, pengasuh, dll. Boleh jadi salah satu, dua, tiga, atau semua turut menyumbang terhadap proses seorang anak menjadi nakal. Berikut adalah faktor-faktor yang diidentifikasi sebagai penyebab terbentuknya perilaku nakal.

1. Orang Tua
a. Terlalu disiplin, yang menyebabkan seorang anak menjadi kaku terhadap aturan dan berakibat terhadap kemampuan bersosialisasinya.
b. Terlalu melindungi, menyebabkan seorang anak kurang mandiri/manja yang efek jangka panjangnya akan menimbulkan kelekatan terhadap orang-orang tertentu yang dicintainya sehingga akan membuat ia merasa ketakutan atau gelisah berlebihan jika ditinggalkan atau bahkan orang tersebut meninggal.
c. Perceraian, hal ini dapat memicu perasaan kesepian pada anak karena kekosongan salah satu figur, perasaan anak akan berpindah-pindah kadang pro ayah dan terkadang pro ibu atau keharusan anak memilih satu figur membuat ia akan fokus pada 1 figur dan membenci figur yang lain.
d. Terlalu bebas, menyebabkan anak tidak taat terhadap aturan dan tidak ada pertimbangan dalam melakukan sesuatu, dia bertindak atas dasar kesukaan hati.
e. Orang tua yang terlalu banyak melarang ini dan itu, mengakibatkan anak selalu takut untuk membuat keputusan atau pilihan karena dia takut apa yang dilakukannya salah.
Dalam menghadapi masalah, orangtua selalu berfokus terhadap masalah dan penyebabnya tetapi tidak berfokus pada solusi, sehingga menyebabkan anak rendah diri karena merasa dirinyalah yang bersalah terhadap segala suatu yang terjadi.
f. Kualitas kebersamaan yang kurang, misalnya dikarenakan faktor pekerjaan, dan kalaupun waktu itu ada orang tua tidak memanfaatkan waktunya dengan optimal untuk ananda.

2. Guru
a. Guru kurang memahami gaya belajar anak, sehingga seringkali salah dalam memberi perlakuan terhadap siswa-siswinya.
b. guru seringkali berfokus pada anak-anak yang pintar akademis, karena diaanggap tidak merepotkan dan mudah menangkap pelajaran
c. Dalam mengajari anak, sistem yang digunakan Teacher Center dimana peran guru adalah yang paling utama/paling tahu, serta anak tidak dilibatkan dalam proses sehingga fokus utama pada hasil bukan proses

3. Lingkungan Masyarakat
a. Pelabelan “anak nakal” atau “sampah masyarakat” yang kuat terhadap satu individu tertentu.
b. Pengalaman buruk yang dialami seseorang kemudian diceritakan kepada orang lain, sehingga orang yang tidak mengalaminya pun melihat orang tersebut dengan pandangan subyektif.
c. Penolakan terhadap keberadaan individu yang dianggap sebagai ancaman.

Nasi memang sudah menjadi bubur, namun jika boleh mengutip uraian dari Aa Gym kita tinggal tambahkan kecap, daging, telor, kerupuk maka bubur itu pun lebih bernilai. Lalu apa yang harus kita lakukan? Fokus ke depan. Artinya berfokuslah pada solusi/pemecahan masalah. Berikut adalah hal-hal yang dapat kita lakukan dalam memperbaiki perilaku serta menanamkan nilai-nilai moral terhadap anak-anak didik kita:

1. Orang Tua
a. Bersikaplah demokratis, dimana segala sesuatunya harus dibicarakan atau komunikasi. Tanyakanlah pendapat anak terhadap pilihan-pilihan atau keputusan yang akan anda ambil.
b. Buatlah aturan bersama-sama dimana didalamnya mengandung reward and punishment dan berlaku untuk semua baik ayah, ibu, maupun ananda.
c. Konsisten dalam menjalankan peraturan yang telah ditetapkan bersama.
d. Ketika bercerai adalah jalan terakhir yang akan anda ambil, maka libatkanlah anak-anak dalam pengambilan keputusan tersebut, dengan menggunakan bahasa sesuai tingkatan usia. Jangan pernah meminta anak memilih salah satu diantara anda, tetap jalinlah komunikasi yang baik. Sehingga setiap figure berperan dengan baik sesuai fungsinya sebagai ayah dan ibu. Didik mereka bersama-sama, karena jika suami-istri kita mengenal istilah mantan, tapi tidak ada istilah mantah ayah atau mantan ibu.
e. Ketika anak menghadapi masalah berusahalah untuk tidak menghakiminya, belajarlah mendengarkan anak lalu akui bahwa disana anak bersalah atau tidak, kemudian bantu ananda mencari solusinya. Akhiri dengan pelukan hangat yang menandakan anda akan selalu hadir dalam setiap bahagia, sedih, keluh dan kesahnya.
f. Pergunakan waktu luang yang selama ini sulit anda berikan - misalnya karena pekerjaan - dengan optimal seperti bermain bersama, out bond, jalan-jalan, dsb.
g. Jadilah tauladan yang baik. Anak adalah cermin yang paling nyata dari diri anda.

2. Guru
a. Kenali gaya belajar dan cara menangani anak disesuaikan dengan gaya belajarnya.
b. Libatkan anak dalam memperoleh ilmu, dalam artian berproses dalam mendapatkan pengetahuan, sehingga tidak ada istilah siswa “dihuapan wae” atau terus disuapin oleh gurunya.
c. Bertindak adillah terhadap anak yang pandai akademis maupun anak-anak yang lambat dalam belajar. Keberbakatan dan kesuksesan seorang anak tidak hanya ditentukan oleh IQ saja melainkan multiple intelligence.
d. Jadilah guru yang ramah, murah senyum, dan senantiasa 100% ketika sedang mengajar.
e. Tetapkan dan jalankan reward and punishment yang telah disepakati bersama secara konsisten.
f. Senantiasa mensugesti diri kita bahwa semua anak didik kita shaleh-shaleha, dan suatu saat akan menjadi orang besar/sukses.

3. Lingkungan Masyarakat
a. Mengubah paradigma kita terhadap label negative yang melekat pada seseorang, menjadi label yang penuh harapan dan do’a seperti “anak shaleh” dsb.
b. Tidak mudah terprovokasi sekelompok orang tertentu untuk memberikan penilaian negative yang sama terhadap seseorang.
c. Ingatkan mereka ketika mereka melakukan tingkah laku negative, meskipun hanya dengan raut muka kita yang tidak senang dan itu adalah selemah-lemahnya iman kita.
d. Berikanlan tauladan yang baik, dengan cara mengevaluasi diri sebaik apakah kita sehingga berhak menjudge orang lain negative.
Beberapa uraian di atas semoga dapat menjadi solusi bagi kita. Anak adalah amanah, dan setiap amanah akan dimintai pertanggung jawaban sejauh mana kita telah mendidik dan membimbingnya menjadi manusia yang berakal, berakhlak, dan bertanggung jawab terhadap kehidupannya di dunia dan di akhirat.


Lihat-lihat Accessories Motor yukk..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar